Menurut para tetua adat, nama Tincep berasal dari kata “Sicep” yang berarti penangkap. Dahulu wilayah ini masih berupa hutan lebat tanpa penghuni. Penduduk dari Kiawa yang padat mulai membuka lahan pertanian di utara dan menetap di sana, membentuk daerah baru yang dikenal sebagai Sonder. Seorang Datuk (Waraney) bernama Toalu (Montolalu alias Toalu), bekas tentara KNIL dari Sonder, menjelajahi hutan di sebelah barat mengikuti aliran Sungai Munte. Ia menemukan tempat baru yang subur dan belum berpenghuni. Saat menjelajah, Toalu mendengar suara orang-orang Tombulu di sekitar kolam (Wunong) yang sedang menangkap ikan dengan cara sikep atau sikop (meraba dan menangkap satu per satu). Dari kata inilah kemudian muncul nama Tincep. Toalu sering datang ke tempat itu dan akhirnya menetap. Bersama beberapa keluarga dari Kiawa, ia membuka lahan pertanian dan membangun pemukiman. Toalu dikenal sebagai Tonaas (pemimpin adat) yang pemberani (Waraney), bijaksana (Nama Tua), dan mampu menghadapi segala tantangan (Tuama). Keluarga pertama yang mendiami Tincep antara lain keluarga Toalu, Sompotan, Rumagit, Mumu, Walewangko, Kelung, dan Lapian. Kemudian datang pula keluarga lain dari berbagai daerah Minahasa seperti Pangkey, Pangalila, Rumokoy, Palar, Supit, Kojo, dan lainnya, bahkan dari luar Minahasa seperti Jawa, Sumatera, Ambon, dan Sangihe Talaud. Hal ini menyebabkan pemukiman Tincep semakin meluas ke arah selatan dan barat. Secara adat, Desa Tincep berdiri tahun 1776, ditandai dengan pelaksanaan Upacara Tumani yang dipimpin oleh Toalu sebagai simbol pendirian desa. Dalam upacara tersebut dipanjatkan doa kepada Amang Kasuruan Wangko Si Mae’ma im Baya Waya (Tuhan Pencipta Semesta Alam). Bukti sejarah berdirinya desa ini masih ada hingga kini, yaitu Batu Tumotowa dan Puser in Tana’, yang menandakan pengesahan pendirian Kampung Tincep di Minahasa.